Belenggu Cita-Cita Indonesia Emas 2045 Itu Bernama Korupsi

Sumber: Pinterest.com
Janji Besar UU 59/2024 dan Budaya Korupsi
Indonesia punya rencana besar bernama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang kini menjadi Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024. Rencana ini ingin menjadikan Indonesia negara maju dan makmur pada tahun 2045, yang disebut "Indonesia Emas 2045." Untuk mencapai impian ini, Indonesia harus mengubah banyak hal, termasuk tata kelola pemerintahan, hukum yang pasti, dan yang paling penting, harus bisa mencegah korupsi.
Sayangnya, cita-cita luhur ini terbentur kenyataan pahit, yaitu korupsi yang saya rasa telah sudah menjadi seperti kebiasaan atau budaya di Indonesia. Bahkan, kita sering kali disodorkan berita pejabat negara dengan rompi oranyenya, ditangkap karena diduga korupsi. Hal ini muncul karena tidak lepas dari kerakusan orang yang ingin hasil instan dan cepat kaya, sehingga memilih jalan pintas dengan menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan. Kebiasaan buruk ini merusak kepercayaan pada lembaga hukum, bahkan mendorong masyarakat untuk main hakim sendiri karena kecewa. Jika pemerintah tidak bisa mengatasi masalah etika dan budaya ini, janji reformasi yang ada di RPJPN akan sulit sekali tercapai.
Data Korupsi Terbaru: Angka Semu!
Kita bisa melihat kondisi korupsi di Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data IPK Indonesia tahun 2024 menunjukkan sedikit kenaikan skor menjadi 37, dari sebelumnya 34. Peningkatan skor ini juga mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat ini sebagai pertanda baik, terutama karena ada optimisme dari sektor ekonomi global.
Namun, kenaikan ini harus dilihat secara hati-hati, karena peningkatan persepsi ekonomi saja bisa menciptakan kesan palsu tentang integritas negara. Angka IPK yang naik ini sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan. Lembaga pemantau, Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat bahwa kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi pada tahun 2024 menurun drastis hingga 54%, yang merupakan angka terburuk dalam lima tahun terakhir. Penurunan penindakan ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan negara justru sedang melemah, padahal penindakan adalah salah satu kunci penting dalam pengukuran IPK.
Kasus Nyata: Ancaman Triliunan Rupiah
Ancaman terbesar terhadap impian Indonesia Emas 2045 terlihat jelas dalam kasus korupsi besar Tata Niaga Komoditas Timah di PT Timah Tbk. Kerugian yang ditimbulkan kasus ini sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun. Yang mengerikan, sebagian besar kerugian itu, yaitu Rp271,1 triliun, adalah kerugian lingkungan hidup, bukan hanya uang negara saja. Kasus Timah ini membuktikan bahwa korupsi di Indonesia sudah melangkah jauh menjadi kejahatan yang merusak alam dan masa depan generasi. Korupsi ini secara langsung menghancurkan salah satu pilar RPJPN, yaitu pembangunan yang harusnya "berkelanjutan." Kerusakan alam yang masif ini merusak modal ekologi bangsa demi keuntungan sesaat. Selain itu, kerugian uang negara akibat kasus ini sangat sulit dikembalikan. Kegagalan mengembalikan uang triliunan ini membuat uang yang harusnya dipakai untuk membiayai program RPJPN 2045 malah terpaksa ditutupi dengan utang dan pajak masyarakat, tentu ini sangat tidak adil.
Agar Indonesia Emas 2045 tidak hanya menjadi angan-angan saja, ada beberapa hal penting yang saya rasa negara perlu perhatikan ini.
1. Masalah Hukum dan Pengembalian Aset
Meskipun kerugian negara akibat korupsi meningkat tajam hingga Rp279,9 triliun, penggunaan pasal untuk memulihkan aset yang dicuri masih sangat rendah. Dari ratusan kasus korupsi di tahun 2024, hanya sedikit yang menggunakan pasal pemulihan aset. Bahkan, total aset yang dikembalikan KPK selama lima tahun (2020-2024) hanya sekitar Rp2,5 triliun, jumlah yang sangat kecil dibanding kerugian satu kasus Timah saja. Negara harus segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset. Ini adalah cara paling efektif untuk mengambil kembali uang dan harta koruptor, yang sangat dibutuhkan untuk modal pembangunan RPJPN.
2. Kinerja Penegak Hukum yang Melemah
Penurunan tajam kinerja penegakan hukum ini terjadi di tengah momen politik. Ada dugaan kebijakan menunda penindakan kasus korupsi yang melibatkan calon peserta pemilu. Keputusan seperti ini adalah intervensi politik yang melemahkan efektivitas penegakan hukum, padahal penegakan hukum yang kuat adalah kunci bagi keberhasilan tata kelola RPJPN. Menunda penindakan terhadap elit politik justru membiarkan calon pemimpin yang bermasalah untuk berkompetisi. Lembaga penegak hukum harus segera menghentikan campur tangan politik dan mengembalikan independensi mereka.
Korupsi di Sektor Dasar
Korupsi paling banyak terjadi di sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti desa, kesehatan, dan pendidikan. Korupsi di tingkat lokal ini merusak pemerataan pembangunan yang diamanatkan RPJPN. Dana yang seharusnya dipakai untuk kesejahteraan rakyat miskin justru dicuri. Untuk mengatasinya, pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan, termasuk mewajibkan sistem pelaporan pelanggaran di perusahaan swasta dan BUMN, seperti yang direkomendasikan ICW. KPK juga perlu memaksimalkan alat pencegahan digital untuk memantau titik-titik rawan korupsi di sektor-sektor dasar ini.
Memilih Menjadi Wacana Kosong atau Kenyataan
Indonesia Emas 2045 adalah harapan besar yang diikat dalam UU 59/2024. Namun, harapan ini tidak akan terwujud jika budaya korupsi sistemik terus dibiarkan. Kenaikan tipis IPK hanyalah ilusi yang menutupi lemahnya penindakan hukum dan kejahatan lingkungan triliunan rupiah. Negara harus segera melakukan reformasi yang radikal, bukan hanya janji-janji. Pengesahan UU Perampasan Aset dan penguatan lembaga anti-korupsi yang independen adalah langkah nyata untuk menyelamatkan modal dan integritas bangsa. Tanpa tindakan tegas, cita-cita Indonesia Emas hanya akan menjadi wacana kosong yang diwariskan bersama kerusakan lingkungan dan tumpukan utang.